Solidaritas Donasi Rakyat, Apa Kabar CSR?

Lukman Dahlan-dosen Akuntansi FEB Universitas Negeri Makassar

Makassar, MarajaNews—Setiap kali bencana melanda, terutama seperti banjir bandang dan longsor yang memporak-porandakan Sumatera baru-baru ini, masyarakat Indonesia bergerak lebih cepat daripada sirine peringatan dini.

Dalam hitungan jam, poster open donasi bertebaran di Instagram, WhatsApp, TikTok, hingga billboard digital. QRIS beredar lebih cepat daripada data korban resmi. Solidaritas rakyat memang selalu menjadi harapan utama.

Bacaan Lainnya

 

Dalam hitungan jam, poster open donasi memenuhi linimasa media sosial. Pelajar/Mahasiswa, Guru/Dosen, pekerja kantoran, influencer, konten kreator, komunitas kecil, hingga ibu-ibu pengajian membuka rekening dan menggerakkan jaringan solidaritas mereka. Tanpa diminta, tanpa formalitas, tanpa kalkulasi.

 

Mereka memberi karena merasa terhubung dengan sesama.

 

Gerakan ini begitu natural, seakan-akan solidaritas adalah naluri yang tak pernah hilang dari masyarakat Indonesia.

 

Namun ada hal yang menggelitik, yakni kenyataan bahwa di tengah gelombang donasi publik yang begitu besar, ke mana perginya dana CSR perusahaan? Padahal undang-undang mengamanatkan bahwa perusahaan, terutama yang bergerak di sektor yang berisiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial, memiliki kewajiban mengalokasikan dana CSR yang bukan kecil jumlahnya.

 

Secara regulatif, posisi CSR sebenarnya sangat jelas. Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No. 40/2007) menegaskan bahwa perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Baca Juga:  Kambing Pun Kena Tilang, Satpol PP Sinjai Amankan Enam Ekor Ternak Liar

 

Kewajiban ini diperinci kembali dalam PP 47/2012, yang menegaskan bahwa CSR bukan pilihan manajerial, tetapi bagian yang tidak terpisahkan dari operasional perusahaan. Oleh karena itu, CSR bukan sedekah, bukan amal, bukan pilihan, tapi keharusan yang melekat pada setiap badan usaha.

 

Pada sektor pertambangan dan energi, aturan semakin ketat. UU Minerba menuntut perusahaan untuk berkontribusi terhadap pembangunan dan pemulihan sosial-lingkungan di wilayah tempat mereka beroperasi. Artinya, ketika daerah rawan bencana seperti Sumatera mengalami kerusakan, kontribusi korporasi bukan sekadar bentuk empati, melainkan bagian dari struktur kewajiban yang melekat pada izin usaha.

 

Sebuah perusahaan yang bekerja di wilayah yang rentan ekologis tidak hanya mengambil keuntungan ekonomi, tetapi juga memikul konsekuensi sosial dan lingkungan yang timbul dari aktivitasnya. Dalam pendekatan keberlanjutan.

 

ini dikenal sebagai reciprocal responsibility: ketika sebuah entitas menikmati manfaat dari suatu ruang, maka ia berkewajiban turut memulihkan ruang yang sama saat terjadi kerusakan.

 

Dalam bencana Sumatera, publik melihat wajah solidaritas masyarakat yang begitu kuat. Tetapi dalam waktu yang sama, publik juga merasakan kevakuman dari sebagian perusahaan besar, terutama yang selama ini berkegiatan di wilayah tersebut. Mungkin saja, mereka masih menunggu momentum yang “strategis” sebelum bergerak.

Baca Juga:  Edisi Perdana Liga Ayah Hebat Perkuat Kebersamaan Keluarga

 

Ada yang menunggu arahan pusat, ada yang menunggu liputan media, dan ada yang menunggu waktu yang tepat agar kontribusinya bisa viral di media sosial.

 

Di banyak daerah terdampak, tidak terlihat keterlibatan korporasi dalam skala yang sebanding dengan kapasitas dan sumber daya yang mereka miliki. Bantuan resmi memang ada, tetapi hadirnya sering tampak malu-malu, seremonial, atau sekadar menunggu momentum pencitraan.

 

Realitas ini membuat masyarakat bertanya-tanya, mengapa rakyat yang tidak punya kewajiban hukum justru menjadi penopang utama bantuan, sementara perusahaan yang memiliki kewajiban regulatif terkadang justru tampil samar? Pertanyaan ini bukan tudingan, melainkan pintu untuk membaca ekosistem tanggung jawab sosial kita. Ada kecenderungan bahwa CSR masih sering dipahami sebagai kegiatan filantropi, bukan sebagai kewajiban struktural.

 

Banyak perusahaan menekankan narasi kebaikan, bukan narasi akuntabilitas.

 

Pada titik tertentu, masyarakat menjadi lebih percaya pada open donasi yang sederhana, transparan, dan dekat, dibanding program CSR yang dipresentasikan melalui laporan keberlanjutan setebal ratusan halaman.

 

Tentu saja, hal ini bukan berarti laporan keberlanjutan tersebut menjadi tidak berguna sama sekali, di baliknya pasti tetap menyimpan kebaikan dan kebenaran tersendiri.

Baca Juga:  Hadirkan Layanan Terbaik, DPMPTSP Sinjai Asah Kemampuan Petugas MPP

 

Namun tulisan ini bukan ingin mempertentangkan rakyat dan perusahaan.

 

Justru sebaliknya, kita perlu saling mengingatkan bahwa dalam situasi bencana, kita membutuhkan kolaborasi yang setara.

 

Bantuan rakyat adalah wujud solidaritas. Bantuan perusahaan adalah bentuk tanggung jawab. Yang satu lahir dari keikhlasan, yang lain lahir dari kewajiban. Keduanya penting, tetapi tidak boleh saling menutupi.

 

CSR tidak dimaksudkan untuk menggantikan empati masyarakat, tetapi juga tidak boleh menjadikan empati masyarakat sebagai alasan untuk bersembunyi di balik kegiatan simbolis. Di tengah tantangan bencana yang semakin sering terjadi akibat krisis iklim, publik berharap perusahaan mampu hadir secara lebih cepat, lebih konkret, dan lebih terukur.

 

Pada akhirnya, pertanyaan “Apa kabar CSR?” bukanlah sindiran, melainkan ajakan reflektif. Rakyat telah membuktikan bahwa solidaritas bukan sesuatu yang harus dikampanyekan berulang-ulang. Solidaritas rakyat muncul secara spontan setiap kali dibutuhkan. Kini giliran perusahaan untuk menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial bukan sekadar slogan, tetapi bagian dari kehadiran mereka sebagai aktor penting dalam kehidupan masyarakat.

 

Jika rakyat sudah bekerja tanpa jeda, maka perusahaan pun diharapkan hadir tanpa syarat. Hingga ketika keduanya berjalan beriringan, pemulihan bukan hanya mungkin tetapi lebih cepat dan lebih baik.

Pos terkait