Perempuan dan Paradoks Penghormatan Sosial

(Dok, Istimewa) foto Andi Sri Bulan BM

Sinjai, MarajaNews—Menjadi perempuan ternyata memang sarat dengan ironi.

Dalam banyak realitas sosial, perempuan kerap berada pada posisi yang serba salah.

Bacaan Lainnya

 

Ketika ia tidak memperoleh pendidikan yang memadai, ia dipandang rendah, dianggap tidak berdaya, dan sering kali suaranya diabaikan.

 

Perempuan yang tidak berpendidikan kerap dilekatkan pada stigma ketergantungan, seolah-olah nilai dirinya hanya diukur dari kemampuan domestik semata.

 

Namun, ironi itu tidak berhenti di sana. Ketika perempuan memilih untuk berpendidikan tinggi, berwawasan luas, dan mandiri secara intelektual, ia justru kembali berhadapan dengan stigma yang berbeda.

 

Perempuan berpendidikan kerap dicap terlalu keras, bebal, atau dianggap terlalu pintar sehingga dinilai sulit mendapatkan cinta sejati.

Baca Juga:  Pemerintah Desa Lamatti Riaja Salurkan Bantuan Ketahanan Pangan, Ringankan Beban Ratusan Warga

 

Dalam narasi sosial tertentu, kecerdasan perempuan seakan dipersepsikan sebagai ancaman, bukan sebagai potensi.

 

Kondisi ini menunjukkan adanya standar ganda yang masih mengakar kuat dalam cara pandang masyarakat.

 

Perempuan dituntut untuk cerdas, tetapi tidak boleh melampaui batas yang ditentukan oleh konstruksi sosial.

 

Ia diharapkan mandiri, namun tetap harus patuh pada norma yang sering kali membatasi ruang geraknya.

 

Pada titik ini, perempuan seolah tidak pernah benar di mata dunia.

 

Padahal, persoalan sesungguhnya bukan terletak pada pilihan perempuan apakah ia berpendidikan atau tidak, melainkan pada cara dunia memandang dan memperlakukan perempuan.

 

Cara pandang yang masih sarat bias, patriarkis, dan penuh prasangka inilah yang melanggengkan ketidakadilan.

Baca Juga:  Usia Hanya Angka, Kades Bongki Lengkese Jadi Teladan Semangat Belajar di Retret Kepala Desa se-Sulsel

 

Perempuan tidak diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri, melainkan dipaksa menyesuaikan diri dengan ekspektasi yang kontradiktif.

 

Sudah saatnya masyarakat mengubah perspektifnya.

 

Pendidikan perempuan semestinya dipandang sebagai kekuatan, bukan ancaman. Kecerdasan perempuan bukan penghalang bagi cinta, melainkan fondasi bagi relasi yang setara dan sehat.

 

Menghormati perempuan seharusnya tidak bersyarat baik ia berpendidikan tinggi maupun tidak.

 

Menjadi perempuan bukanlah kesalahan, Yang keliru adalah cara dunia terus-menerus menilai perempuan dengan ukuran yang tidak adil. Selama cara pandang ini tidak dibenahi, ironi itu akan terus berulang, dan perempuan akan tetap berada dalam lingkaran penilaian yang menyesakkan.

Pos terkait